Inilah
Cerita Mutiara Tentang Tewasnya 3 Muslim yang Ditembak di Carolina Utara AS. Pegiat Charlie Hebdo mati ditembak teroris, dunia gempar bukan alang-kepalang, seakan-akan besok mau kiamat. Tiga warga muslim tewas ditembak di Carolina Utara, AS, juga oleh teroris, dunia barat adem ayem saja, seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Tidak ada “breaking news”, tidak ada berita besar, tidak ada juga simpati dunia.
- Memang bajingan tengik mereka itu!
Inilah ulasan jujur seorang pemerhati dunia internasional
Pepi Nugraha yang saya baca di Kompasiana. Itulah kegeraman saya yang tercermin melalui status yang saya unggah di Facebook pagi ini, sampai-sampai saya mengeluarkan kata tak pantas (bajingan tengik). Perlu saya garisbawahi di sini, kebencian saya tentu ditujukan kepada teroris, agama apapun yang mereka anut dan siapapun yang menjadi korban. Para korban pembunuhan, siapapun mereka, tidaklah layak untuk disyukuri, apapun agama mereka. Justru simpati dan rasa kemanusiaan harusnya berpihak pada si korban, tidak peduli apapun keyakinan mereka.
- Mengutuk cara kerja pers Barat
Kali ini saya gusar, kecewa berat, dan bahkan mungkin mengutuk cara kerja pers Barat yang selalu menggembor-gemborkan kebebasan dan kemanusiaan, namun ternyata miskin simpati untuk kasus tiga warga Muslim yang tewas dibunuh di Carolina Utara, Amerika Serikat, dua hari lalu. Tidak semua tentunya, ada juga pers Barat yang memberitakannya. Namun berbeda dengan tewasnya 12 penggiat Charlie Hebdo di Perancis, mingguan satir yang menjual popularitasnya dengan menghina agama dan keyakinan, termasuk menghina Nabi Muhammad SAW melalui kartun yang katanya hasil seni dan kebebasan itu, dunia dibuat gempar karena Pers Barat gegap-gempita memberitakannya.
Untuk tewasnya tiga warga Muslim di AS, media Barat (baca Amerika Serikat dan Eropa), mereka adem ayem saja seperti tidak terjadi peristiwa yang luar biasa. Inilah yang memicu pertanyaan dunia; apakah media Barat itu sudah benar-benar menjalankan misinya sebagai penjaga demokrasi atau cuma sekadar kamuflase belaka?
- Pers Barat Kehilangan “Nose for News"
Apakah pers Barat masih memiliki “nose for news” untuk sebuah peristiwa yang seharusnya dilihat sebagai “peristiwa netral” semacam korban pembunuhan ini? Atau penciuman atas berita mereka memang berbeda kalau urusannya dengan dunia Muslim?
Bahkan ketika media sosial bereaksi dan mengecam keras pembunuhan tiga warga Muslim di AS itu, pers Barat bergeming. Tetap terpaku di tempat, menulikan diri sendiri, seakan-akan peristiwa itu “bukan berita”. Bahkan mungkin peristiwa seekor anjing yang tercebur ke selokan masih layak diberitakan di CNN atau The New York Times.
Sejatinya, tanda pagar (hashtag) #ChapelHillShooting menjadi peringatan pertama yang menggugah insting jurnalisme mereka untuk bergerak di saat mereka masih tertidur pulas. Inipun tidak. Berbeda dengan “simpatik dunia” dalam bentuk slogan “Je Suis Charlie” sebagai perekat simpatik global plus turunnya tokoh-tokoh dunia untuk mengutuk perbuatan keji itu, seakan-akan memaksa warga dunia untuk memberikan simpatinya terhadap peristiwa itu.
Kita dihadapkan pada satu kenyataan, tidak ada para pemimpin dunia yang bersimpati atas tewasnya tiga warga Muslim di Amerika itu? Jangankan turun ke jalan, bahkan sebatas pernyataan “mengutuk keras” dari para pemimpin dunia itu pun tidak ada. Peristiwa ini dianggap pembunuhan biasa yang bukan dilakukan oleh seorang teroris. Maka tidak layaklah kalau si pembunuh itu disebut teroris. Pers Barat dan Pemimpin Barat ya sama saja; munafik dan selalu menerapkan standar ganda yang akut .
- Agama Mungkin Menjadi Alasannya
Rasa empati dan simpatik yang mereka miliki tiba-tiba menguap tak berbekas kalau yang menjadi korban adalah Muslim (maaf, terpaksa saya harus mengatakannya demikian). Mereka tidak mengutuk si pembunuhnya sebagai teroris karena ia bukan Muslim. Jadi bagi mereka, kemanusaian, empati, dan simpaik pun “punya agama” sendiri.
Mereka, media Barat dan Pemimpin Barat itu setali tiga uang, pilih-pilih. Mereka sebut teroris kalau pelakunya Muslim dan korbannya kebetulan non Muslim (lagi-lagi terpaksa saya mengatakannya demikian). Sebaliknya, mereka sebut ini pembunuhan biasa kalau pelakunya non Muslim dan korbannya Muslim. Definisi inipun mereka tentukan sendiri.
Kita menyaksikan dunia yang senyap, media Barat yang bersih dan sama sekali tidak menyentuh peristiwa ini, khususnya televisi yang dikuasai Barat. Benar ada Aljazeera yang gencar memberitakannya, lagi-lagi itu tidak mengusik Pers Barat untuk sekadar memasang radar penciuman jurnalistiknya. Aljazeera seperti berteriak-teriak sendiri di dunia yang luas ini dengan suara paraunya. Sedangkan pers Barat segera menutup kantornya, meliburkan jurnalisnya, menyimpan kameranya, menggantung alat tulisnya, saat tiga warga Muslim dibunuh di depan hidung mereka sendiri. Ini mungkin pengandaian yang terlalu berlebihan, tetapi kenyataannya demikian.
- Ketidak Adilan Yang Sengaja Dibuat
Apa yang saya rasakan adalah ketidakadilan. Dunia yang tidak adil. Saya yakini ketidakadilan itu dibuat atau sengaja dibuat, bukan sesuatu yang alamiah atau berjalan dengan sendirinya. Untuk tewasnya tiga warga yang bukan penggiat Charlie Hebdo di Perancis, sulit dihindari persepsi yang menyatakan bahwa ini sebuah keadilan. Adil karena dari sisi korban yang “cuma” tiga orang dibanding 12 orang yang tewas di Perancis tidak layak diberitakan. Adil karena 12 masuk nilai berita terkaut “angka” atau “magnitude” dibanding yang “cuma” tiga nyawa tadi sehingga layak diberitakan. Ini bukan alasan, tetapi mungkin justru ini satu-satunya alasan Media Barat sehingga mereka tidak bergerak untuk melaporkan peristiwa ini, yakni bersembunyi di balik prinsip “News Value”, nilai berita.
Sulit dipungkiri bahwa kasus ini sebenarnya bukan persoalan nilai berita, tetapi ada yang lebih serius dari sekadar ilmu atau standar jurnalistik. Ini soal kebencian Media Barat terhadap hal-hal yang berbau Muslim di manapun mereka berada. Maaf kalau saya harus mengatakan sekasar ini, meski mungkin tanpa dasar dan referensi canggih. Seperti telah saya katakan tadi, berbeda kalau yang menjadi korban adalah non Muslim dan si pelaku penembakan Muslim, mungkin media Barat akan menempatkannya sebagai berita penting dan memberitakannya secara gencar.
Craig Stephen Hicks, pria berusia 46 tahun yang dituduh membunuh tiga mahasiswa Deah Barakat, istrinya Yusor Mohammad Abu-Salha, serta adik iparnya, Razan Mohammad Abu-Salha, memang warga biasa. Saya juga tidak mempersoalkan apa keyakinan yang dianutnya karena tulisan ini bukan dimaksudkan mempertentangkan agama. Bahwa kepolisian setempat sudah menahannya untuk meminta pertanggungjawabannya, itu urusan lain, polisi seharusnya memang bekerja cepat dan profesional. Hal yang saya persoalkan di sini adalah soal kepekaan media Barat, yang menganggap tewasnya tiga warga yang kebetulan mahasiswa itu sebagai “bukan berita”,sebab yang menjadi korban bukan penggiat Charlie Hebdo.
- Media Barat yang Liberal ternyata tidak canggih-canggih amat
Atas peristiwa ini, sudah selayaknya ke depan pers nasional yang biasa mengutip media Barat, mengalihkan perlahan-lahan kiblat pemberitaannya dari media liberal yang ternyata tidak canggih-canggih amat, yang ternyata banyak bolong dan kelemahannya, ke kantor berita alternatif. Masih banyak kantor berita alternatif yang bisa didapat untuk sekadar mengimbangi berita-berita yang datangnya dari Amerika Serikat dan Eropa.
Yang perlu kita yakini bersama, dunia bukanlah milik pers Barat, tetapi mereka memang tahu persis bagaimana menggenggam dan mewarnai dunia sesuka mereka. Tidak ada salahnya kalau pers non Barat juga ikut mewarnai dunia, kendati mungkin akan dianggap mengotori keindahan lukisan yang telah lama mereka ciptakan dan secara tidak sadar kita nikmati dari hari ke hari itu.
Kasus tewasnya tiga mahasiswa di Amerika ini hanyalah contoh kecil saja dan seharusnya dijadikan tonggak mulai berpalingnya arah sumber berita dan pemberitaan, demi memperoleh berita atau informasi yang berimbang. Hanya dengan cara inilah perlahan-lahan kita bisa mengimbanginya, meski mungkin butuh waktu lama. Paling tidak kita menjadi paham bahwa media Barat bukanlah segala-galanya untuk urusan berita.
Muslim Indonesia Jangan Lemah & Mudah Terlarut Oleh Barat
Ini harusnya bisa menjadi pembuka mata dan hati kita para Muslim Indonesia. Jangan menjadi para pemuda yang lemah baik fikiran, pengetahaun, iman, maupun ekonomi.
Jangan lagi menjadi umat yang lumpuh.
Mari kita bangkit menjadi Muslim yang kuat dan menjadikan Indonesia negara yang kuat. Para pemuda Muslim Indonesia dulu sangat tangguh berjuang. Sama seperti mereka berarti kita juga mampu menjadi
Pemuda-pemuda Muslim yang Tangguh untuk situasi saat ini dan seterusnya.
Mulai sekarang mari berjuang untuk kalahkan kemajuan barat selamanya. Saat ini Indonesia dan Pemuda Muslim Indonesia memang belum maju, tapi tidak ada lagi pilihan lain, kita masing-masing para pemuda muslim Indonesia harus bertekat dan berjuang di bidang apapun aktivitas kita.
Demi Islam dan Indonesia tercinta.